Menyesal  

Diposting oleh Diaty....

Aku benar-benar menyesal. Aku berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Aku tidak mau menyakitinya lagi. Aku tidak mau meninggalkannya hanya karena terpesona sama gadis yang lain. Aku seorang laki-laki yang jahat, yang telah menyia-nyiakan kepercayaan dari seorang wanita yang benar-benar tulus menyayangiku…

^_^

“Sayang… kapan kamu berangkat ke Surabaya?” suara lembut dari cewekku, Aya, membuyarkan lamunanku. Kutatap wajahnya. Teduuuh banget untuk dipandang. Dia tersenyum. Kugenggam jemarinya.
“Mungkin besok, sayang…” jawabku.
“Besok…??” tanya Aya.
Aku mengangguk. Wajah Aya terlihat sedih. Kueratkan genggaman tanganku.
“Berapa lama?” tanyanya.
“Mungkin kurang lebih ya… sekitar tiga bulan. Kenapa?”
Aya menatapku. Semburat sedih masih membekas di wajah cantiknya itu. “Aku pasti bakal kesepian disini…”
“Lho?? Bukannya masih ada temen-temen kamu…? Mereka belum pada keluar kota, kan?”
Aya menggeleng. “Belum, sih, tapi kan beda kalo gak ada kamu…”
Kutatap lekat-lekat wajah Aya. Entah kenapa, aku sangat menyayangi cewek yang sekarang ini lagi duduk di depanku. Hhh, aku pasti bakal merindukannya juga. Tapi, tiga bulan setidaknya waktu yang sangat sebentar untuk berpisah, mengingat kami mungkin tidak satu kampus nantinya. Jadi, hitung-hitung ini merupakan latihan long distance.
“Sayang, justru dari saat inilah kita bisa latihan pacaran jarak jauh. Terus, saat ini juga kita bisa deket sama sahabat-sahabat kita. Ntar, kalo sayang jadi kuliah di Jakarta, sayang pastinya gak bakalan ketemu temen-temen lagi, kan? Jadi, untuk saat ini, kita habiskan saja dulu waktu bersama temen-temen. Gimana?”
Aya mengangguk. Dia emang cewek yang penurut. Kurasa, aku gak salah pilih cewek, hehehe. Setidaknya dia gak seperti mantanku dulu.
Aku beringsut ke depan wajah Aya lebih dekat lagi, dan kukecup keningnya. Aya tersenyum.
“Aku selalu menyayangimu…” kataku.
“Aku juga menyayangimu, sayang…” jawab Aya.
Aya kemudian berjalan mengantarku ke depan. Sangat kurasakan betapa genggamannya kali ini sangat kuat untukku.
“Kevin, aku gak mau putus dari kamu…” kata Aya.
“Aku juga…” sahutku. Kunyalakan motorku sambil tersenyum pada Aya. “Aku pulang, ya…”
Aya mengangguk, “Hati-hati.”
Motorku melaju di kesunyian jalan. Sebentar kulirik kaca spionku. Masih ada Aya yang berdiri disana…

^_^

Keesokan paginya…
“Kevin… Barang-barangmu udah dimasukin ke dalam bagasi atau belum?”
Kulihat wajah mama menengok dibalik pintu kamarku. “Sudah, Ma.”
“Hey… kok anak mama murung, sih…” Mama berjalan masuk ke kamarku. Beliau sedikit melirik apa yang ada di tanganku, kemudian tersenyum. “Kamu sedih ya berpisah dengan Aya?”
Aku mengangguk.
“Sudah kamu bilang berapa lama kamu akan berada di Surabaya?”
“Udah, Ma.”
“Terus? Dia mengerti?”
Aku mengangguk lagi.
“Kalau begitu, apa yang kamu khawatirkan, sayang…?” Tanya Mama sambil membelai rambutku.
Aku merasakan wajahku bersemu merah pada saat Mama menanyaiku hal seperti itu.
“Kevin takut… dia selingkuh…”
Mama tertawa. “Kevin… Kevin…”
“Memangnya kenapa, Ma?”
“Mama yakin Aya orangnya gak seperti itu. Mama malah khawatir, kamu yang bakalan menyakitinya.”
“Kok Mama berpikiran gitu, sih?”
“Soalnya Mama tau perasaan Aya ke kamu itu seperti apa. Mama sudah banyak ngobrol bersama Aya pada saat kamu mengajaknya kesini. Mama menyukai Aya. Jadi, Mama pikir dia gak akan tega menyakitimu.”
“Terus, kenapa Mama malah berpikir kalo Kevin yang akan selingkuh?”
“Kevin, Mama udah tau sifat kamu itu seperti apa. Kamu itu anaknya supel, humoris, gaul… Mama yakin, setiap cewek yang dekat kamu pasti nyaman bersama kamu.”
Mau tak mau, dadaku agak sedikit mengembang. Bangga juga, sih. Hehehe…
“Tapi, aku harap itu takkan terjadi, Ma.” jawabku. “Aku gak mau menyakiti Aya.”
“Mama harap juga begitu, sayang…”
Kami berdua lalu berjalan keluar kamar. Hhh, aku udah agak sedikit tenang. Dengan cepat aku berjalan masuk mobil. Dan kemudian, tanpa kusadari kami sudah melaju dengan cepat menuju bandara…

^_^

Beberapa minggu di Surabaya…
“Sayang… kamu mau gak nemenin aku shopping ntar sore? Aku gak punya baju nih buat pesta ntar malem…” suara centil seorang cewek terdengar dengan sangat jelas di handphonenya Kevin.
Dengan males-malesan Kevin menjawab, “Ya deh, ntar kujemput.” Klik! Segera diputusnya koneksi dengan Cinthya, pacar barunya di Surabaya.
Setelah beberapa minggu di Surabaya, Kevin memang sudah kepincut sama cewek disana. Kevin berkenalan dengan Cinthya pada saat tes masuk Universitas kemaren. Dan, setelah ber-sms-an ria plus diwarnai dengan jalan bareng, akhirnya mereka jadian tanpa ada seorang pun yang tahu. Termasuk mamanya Kevin. Soalnya Kevin tahu, kalo dia ntar bilang sama mamanya, dia bakalan dimarahin habis-habisan karena udah gak setia sama Aya. Padahal Kevin ngelakuin backstreet sama Cinthya cuma gara-gara dia kesepian di Surabaya.
Udah banyak hal yang dia lakuin bersama Cinthya. Mulai dari nonton bareng, jalan-jalan, makan bareng. Dan dia ngerasa sangat terhibur karena Cinthya itu orangnya gokil banget! Kevin jadi senyum sendiri mengingat hal itu.
Kadang-kadang, Kevin ngerasa bingung sendiri sama teman-temannya. Mereka selalu bilang yang jelek-jelek mengenai Cinthya. Cinthya matre lah, Cinthya suka jalan sama cowok lain lah, Cinthya egois lah, pokoknya macem-macem deh.
Kevin merasa, selama ini Cinthya selalu baik sama dia. Dan Kevin selalu berusaha untuk berpikir positif tentang Cinthya. Tiba-tiba, sejenak terbersit sosok Aya dalam pikiran Kevin. Apa kabarnya Aya ya sekarang ini? Pikir Kevin.
Saat dia masih menimbang-nimbang apakah nge-sms atau nelpon Aya, handphone nya Kevin berbunyi.

^Aya_HoneY^
Calling…

Pucuk dicita, ulam pun tiba!
Dengan sumringah Kevin mengangkat telepon dari ceweknya itu. Setelah ber-say Hi ria dan ngobrol ngalur ngidul sekian lama, akhirnya kangen Kevin terobati. Diliriknya jam dinding di kamarnya itu. Kevin pun bergegas mandi.
20 menit kemudian, Kevin udah tiba di depan rumah Cinthya. Diketuknya pintu rumah Cinthya, dan gak lama kemudian muncul seorang cewek memasang tampang cemberutnya.
“Kenapa sih lama banget jemputinnya? Udah gak sayang lagi, ya?”
“Cinthya, kok kamu ngomongnya gitu, sih?”
Dengan wajah kesal Cinthya menghampiri Kevin, “Tau, lagi bete aja.” Dinaikinya motor Kevin tersebut dan memeluk pinggang Kevin dengan erat. Ini untuk pertama kalinya Kevin merasa gak enak dipeluk seperti itu. Ada perasaan bersalah dihatinya terhadap Aya. Dia ingin mutusin Cinthya, tapi masih gak tau gimana cara menghindari cewek centil macam Cinthya itu. Sepanjang jalan otaknya berpikir keras menyusun taktik untuk mutusin Cinthya. Tiba didepan sebuah mall, Kevin dan Cinthya turun.
Sambil memeluk lengan Kevin, Cinthya berkata, “Sayang… kamu mau kan beliin aku baju untuk pesta ntar malem?”
“Pesta apaan, sih?”
“Hmm… Gini, temenku ada yang ulang tahun, dan aku gak punya baju untuk ke pesta…” Jawab Cinthya sambil menatap manja ke arah Kevin. Yang ditatap malah mencoba untuk membuang muka.
“Bukannya baju kamu bagus-bagus?” Tanya Kevin. Aneh juga Cinthya bilang gak punya baju, padahal menurut yang Kevin tau, dia selalu memakai baju yang bagus-bagus waktu jalan-jalan berdua dengan Cinthya.
Cinthya memukul lengan Kevin dengan manja, “Ih, sayang… Baju-baju aku itu kan udah pernah aku pakai…”
“Lho? Emangnya kenapa?”
“Aku cuma pengen kelihatan beda aja waktu pesta ntar…” sambil berkedip manja Cinthya menoleh ke arah Kevin. “Tapi, kamu yang bayarin, ya?”
Otak Kevin berputar lagi. Aya gak pernah minta ini-itu ke dia. Dia gak pernah mau minta dibeliin kalo mereka lagi jalan berdua di mall. Kentara sekali perbedaan dua pacarnya ini. Sepertinya aku telah salah mencari seorang cewek lagi untuk mengusir kejenuhanku disini. Aku yakin, aku masih menyayangi Aya, dan Aya pun pasti masih menungguku dengan setia disana.
“Kok aku yang bayarin?” sahut Kevin.
“Kan kamu pacar aku…”
“Memangnya kalo pacar harus ngebayarin setiap kali nemenin ceweknya pergi shopping?” Tanya Kevin. Dia ingin memancing apakah Cinthya ini benar-benar matre.
“Iya.” Jawab Cinthya. “Itu kan bisa sebagai bukti kalo kamu benar-benar sayang sama aku. Lagipula, yang aku minta cuma dikit kok, sayang…”
“Apa?”
“Aku cuma mau baju sama sepatu.”
Buset, pikir Kevin, baju sama sepatu kan bukan sesuatu yang murah. Tiba-tiba saja, Cinthya sudah menarik lengan Kevin untuk segera masuk ke toko sepatu. Setelah sibuk milih kesana kemari, akhirnya ketemu juga sama sepatu pilihan Cinthya.
“Say, aku mau beli yang ini.” Disodorkannya sepatu itu ke arah Kevin. Kevin melihat labelnya, Rp. 254.999,-.
“Ada yang lebih murah dari ini gak?” Tanya Kevin. “Sepertinya uangku gak cukup.”
Semburat cemberut tersirat lagi di wajah Cinthya. Dicarinya lagi yang lebih murah, kemudian disodorkannya lagi kepada Kevin.
Rp. 219.999,-. Kevin menarik napas panjang. “Oke, kamu pilih yang ini. Tapi, jangan harap kamu mendapatkan baju yang lebih bagus dariku.”
“Ya udah, aku akan bayar sendiri untuk baju aku ntar. Dasar pelit.”
Dahi Kevin berkerut. Udah dibeliin malah dibilang pelit. Dasar cewek matre. Seusai belanja, Kevin langsung mengantar Cinthya pulang ke rumahnya. Dan disana juga, Kevin bermaksud untuk bilang sesuatu sama Cinthya.
“Emm… Cinthya, aku mau bilang sesuatu.”
“Oke, mau bilang apa, Mr. Pelit?” Cinthya nampak sangat kesal sekali sore itu. “Aku gak punya waktu banyak, aku harus siap-siap ke pesta.”
“Aku mau kita putus.” Sahut Kevin tanpa basa-basi.
Mata Cinthya melotot. “Kamu mau kita putus? Kenapa Kevin?”
“Besok aku mau pulang ke Kalimantan. Dan aku gak tahan kalo pacaran Long distance.” Jawab Kevin.
Mata Cinthya berkaca-kaca. “Jangan-jangan itu cuma alasan kamu aja supaya bisa putus sama aku, kan? Kamu udah gak sayang lagi sama aku?”
Kevin menjadi serba salah ditanya seperti itu. Dengan gelagapan dia mencari alasan yang tepat buat ngeyakinin Cinthya, “Cinthya, besok kami semua memang mau pulang ke Kalimantan. Jadi, aku rasa kita gak akan ketemu lagi dalam waktu yang lama.”
“Kamu jahat Kevin!” teriak Cinthya, “Oke, kita putus! Dan kuharap, aku bisa dapat pengganti yang lebih baik dan lebih kaya daripada kamu!” Dengan berlari Cinthya memasuki rumahnya.
Sementara Kevin, tersentak dengan kalimat yang diucapkan Cinthya. Ternyata benar apa kata teman-temannya selama ini. Dan ternyata benar apa kata mama, aku gak tahan untuk jauh dari Aya.
Besok aku akan pulang, piker Kevin, dan aku akan jujur sama Aya mengenai semuanya. Aku rela dia mutusin hubungan kami. Sebab, karena aku jualah hubungan kami jadi semakin jauh seperti ini.
Kevin menyalakan motor. Dengan segera diterobosnya jalan yang jauh dari keramaian itu.

^_^

Keesokan sorenya…
“Kevin..!!”
Pelukan dari Aya sangat membuat Kevin senang pada sore itu. Dieratkannya pelukan dari pacar setianya itu. Seakan-akan itu merupakan pelukan atas rasa bersalahnya selama tiga bulan ini.
“Kamu kok gak ngasih kabar, sih?” Tanya Aya.
“Aku mau ngasih surprise buat kamu.” Kevin tersenyum, “Aku mau bilang sesuatu.”
“Serius gak nih?”
“Gak. Dua rius.” Jawab Kevin asal.
Aya tersenyum.
Kevin menarik napas panjang. “Selama tiga bulan ini, kamu pernah coba jalan sama cowok lain gak?”
“Pernah.” Sahut Aya, membuat Kevin langsung terlonjak, “Hmm.. sama Reza. Tapi gak berdua aja sih. Sama anak-anak yang lain juga.”
Kevin melengos, “Maksud aku, kamu pernah gak jadian sama cowok lain selain aku selama tiga bulan terakhir ini?”
“Owh…. Gak pernah, tuh..” jawab Aya. “Aku kan masih pacar kamu… dan juga aku masih sayang sama kamu. Pertanyaan kamu ngaco, deh.”
Kevin menatap Aya. Digenggamnya jemari Aya dengan erat. Aku benar-benar menyesal. Aku berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Aku tidak mau menyakitinya lagi. Aku tidak mau meninggalkannya hanya karena terpesona sama gadis yang lain. Aku seorang laki-laki yang jahat, yang telah menyia-nyiakan kepercayaan dari seorang wanita yang benar-benar tulus menyayangiku… pikir Kevin.
“Maafin aku…” kata Kevin.
“Lho? Maaf kenapa, sayang?”
“Aku… aku… Waktu di Surabaya, aku pernah jadian sama cewek bernama Cinthya. Tapi, sekarang kami sudah putus. Maafin aku… Aku benar-benar menyesal. Aku gak mau ngulangin kesalahan kaya gini lagi. Aku janji.”
Aya melepaskan genggaman tangan Kevin. Dia masih rada shock mendengar perkataan Kevin. Dia ingin menangis. Tapi, dia merasa dia gak boleh mengambil suatu keputusan yang akan membuat dirinya menyesal nantinya. Setelah terdiam beberapa menit, dan dengan satu tarikan napas panjang, Aya berkata, “Kamu menyesal?”
Dengan tertunduk di lengan Aya, Kevin mengangguk. “Iya, aku menyesal. Aku udah siap dengan segala resiko apapun dari kamu, Aya. Kamu boleh putusin aku. Aku yang salah dari awal.”
“Kenapa kamu putusin dia?” Tanya Aya.
Kevin menatap wajah Aya, “Karena aku sadar kamulah yang terbaik untuk aku...”
Aya mencoba tersenyum. Dibelainya rambut Kevin. “Aku menyayangimu…”
“Kamu gak mutusin aku, Say?”
Aya menggeleng. “Aku gak akan mutusin kamu. Karena aku tau kamu benar-benar menyesal atas apa yang telah kamu lakuin ke aku. Akan kuberi satu kesempatan lagi untuk kamu.”
“Kamu gak marah?”
Aya menggeleng lagi, “Setiap orang pasti pernah mempunyai kesalahan, kan? Jadi, aku rasa kali ini aku akan memaafkanmu.”
Dengan semangat ’45 Kevin memeluk Aya. Kemudian, dia berbisik di telinga Aya. “Tuhan, terima kasih karena Kau telah mengirimkan bidadari yang terbaik untukku…”

-diaty..

Arti Hadirmu  

Diposting oleh Diaty....

Aku terkulai. Hawa panas mulai menyelimutiku. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku tidak tahu harus berkata apa. Dengan perlahan, darah itu mengalir. Serentak aku tersadar, aku berdiri dan berteriak meminta pertolongan. Orang-orang pun dengan segera mendatangi kami. Tidak berapa lama, Ambulance pun datang, mungkin ada seseorang yang dengan baik hati menghubunginya.
Aku memasuki Ambulance itu. Duduk dengan setia menemani sahabatku yang saat ini terbaring lemah tak sadarkan diri. Untunglah darah yang terus mengalir dari bagian kepalanya itu segera ditangani oleh para petugas kesehatan yang datang. Aku menangis perlahan. Semua kejadian itu terulang kembali dalam memoriku. Sebuah mobil yang kurasa pengemudinya itu sedang mabuk, tiba-tiba menyerempet kami dari arah yang berlawanan. Aku terkejut, dan mencoba menghindari mobil itu. Tapi sial, aku kehilangan keseimbangan. Aku terjatuh disamping sepeda motor yang kukendarai, dan pingsan selama beberapa detik. Disaat itu juga, kudengar jeritan suara yang kukenal. Aku membuka mata. Dan kulihat, Miranda, sahabatku, yang terbaring beberapa meter dari tempatku. Mataku nanar. Aku cuma berharap ada keajaiban yang terjadi pada diri Miranda.

^_^
Dua minggu sebelumnya…
“Kau bercanda??” tanyaku.
Miranda menggeleng. “Tidak, Steph. Aku serius. Mungkin lusa nanti aku sudah tiba di Banjarmasin.”
Aku melonjak kegirangan. “Apa kau berniat untuk menetap?”
“Ehm… Mungkin ya, mungkin juga tidak. Tergantung orang tuaku.” Kemudian Miranda tertawa. “Aku sudah tidak sabar mau melihat tampangmu itu, sweety.”
“Oh, please stop it, Miranda. Kau tau aku sudah tidak suka lagi dipanggil seperti itu. terkesan… ngg.. norak.”
Miranda tergelak dari seberang sana.
“Hey, kau menertawaiku, ya?” tanyaku.
‘Tidak, sweety.” Jawab Miranda. Tapi, masih ada suara tertawa terbahak-bahak dari sana.
Aku cemberut. “Kau bohong.”
Tiba-tiba Miranda menghentikan tawanya. “Oh, geez. Just kidding, my friend.”
Aku tersenyum, “Tidak apa-apa, twinkie, hahahahaha…..!!!!”
“Oh, kau membalasku, eh?” sahut Miranda. Aku tertawa lagi. Dia memang punya kenangan buruk mengenai nama ‘Twinkie’ itu sendiri. Jadi, aku tau kelemahan Miranda ada disana.
“Kita memiliki skor satu sama. Oh, indahnya pembalasan, hahahaha…”
Miranda ikut tertawa. “Awas saja nanti, Steph. Saat aku sudah tiba disana, akan kuberi kau hadiah yang takkan kau lupakan sepanjang hidupmu.”
“Uh, I’m scared.” sahutku. Kemudian tertawa lagi.
“Sialan.”
“Ah, udah dulu, ya. Aku mau ke kampus dulu. Dah twinkie…!!!”
“Dah juga sweety…!!!”
Kemudian kami berdua sama-sama tertawa.

^_^

Hari ini, Miranda datang. Kira-kira pesawat dari Jakarta itu akan tiba 30 menit lagi. Kupercepat laju mobilku. Aku sudah tak sabar untuk menemuinya. Terakhir kali kami bertemu, sekitar tujuh tahun yang lalu. Saat itu, kami masih kelas 5 SD. Tapi, tak berapa lama, ayahku kemudian ditugaskan untuk bekerja di Banjarmasin. Sedih sekali harus berpisah dengan Miranda. Sebenarnya, kalau di dunia maya, kami memang sering ketemu akhir-akhir ini. Tapi, itu tiada berarti jika tidak bertemu secara langsung. Dan hari ini, rasanya seperti mimpi aku benar-benar akan bertemu dengan seorang Miranda.
Di sepanjang perjalanan, dentuman musik OST Boys Before Flowers mengalun keras di dalam mobilku. Aku menyanyi dengan fasih.
....
Saranghae ireon nae mam jeonhal su itdamyeon
Saranghae geudae geu mam gareuchyeo jundamyeon
Na modu darmagalkkeyo..
Love you.. Love you.. Love you..
yeongwonhi..
….
Aku terkikik sendiri. Hihihi. Serasa jadi orang Korea beneran saking fasihnya pengucapanku dalam bahasa itu. Huhu.. Happy syalala....
Oke, Steph.. Back to the world.
Tak lama kemudian, aku sampai di bandara Syamsudin Noor. Kuparkir mobilku, kemudian berjalan melewati kerumunan orang-orang yang entah mereka menunggu waktu pesawat datang, atau menjemput saudara-saudari mereka yang mau datang. Aku menunggu di depan loket penjualan tiket sambil H2C, harap-harap cemas, hehe..
Tiba-tiba, terlintas kenanganku saat aku masih duduk di bangku sekolah. Dulu, aku bersama seorang cowok (dan aku menyimpan perasaan terhadapnya) pernah berada disini karena suatu hal. Kalau bukan karena hujan, mungkin kenangan seperti itu takkan pernah ada. Oh, thanks God. Aku bisa berduaan dengannya selama kurang lebih dua jam. Tapi bedanya, dulu kami berdua duduk di depan loket penjualan tiket yang paling ujung sebelah kiri. Sedangkan aku sekarang duduk di ujung kanan bangku itu. Aku tersenyum simpul. Hihihi. Hmm.. Apa kabarnya dia sekarang, ya? pikirku.
Stop! Aku memejamkan mata, menepiskan kenangan itu, dan kembali pada kenyataan sekarang ini. Kulirik jam tanganku. Pukul 12:24. Okay, sebentar lagi.
”Steph!!”
Ada suara melengking yang tiba-tiba mengagetkanku. Siapakah itu? My Secret Admirer? Hihihi. Aku menoleh pada sumber suara. Pelukan keras menghantam tubuhku.
“Miranda!” teriakku. ”Aduh!”
Dengan terengah-engah aku mencoba melepaskan pelukan dahsyat dari Miranda. Buset, tulangku berderak *lebay, hihihi. Nggak, ding. Cuma terasa agak nyeri aja tiba-tiba dapat ’kado’ seperti itu.
”Apa kabarmu, Steph? Lama tak bersua.” tanya Miranda. Dia membetulkan syal yang membelit di lehernya.
”Baik.” jawabku. ”Apa kau datang sendirian?”
”Tidak. Aku bersama penumpang pesawat lain juga. Hahaha...” sahut Miranda asal.
Aku menjitak kepalanya. ”Bukan itu maksudku, Twinkie. Kali aja kamu datang bawa rombongan.”
Miranda menghirup udara. Seakan-akan baru pertama kali menginjakkan kaki di sebuah pulau yang penuh dengan kedamaian. Kujitak kepalanya sekali lagi. ”Sekali lagi kau menghirup udara dengan tampang lebay seperti itu, akan kubuang anginku tepat dihadapanmu. Hahaha...!!”
Miranda langsung menutup hidung, ”Eugh, Steph jorok!!”
Aku tertawa. ”Biarin, hahahaha...!!”
Aku berjalan ke parkiran. Kubuka kunci mobilku.
Miranda tercengang. ”Whoa, Steph, kau dibelikan mobil?”
Aku tersenyum. ”Hmm.. tidak bisa dibilang begitu. Soalnya seperempat uang mobil ini adalah hasil kerja kerasku juga selama bertahun-tahun.”
Aku membuka bagasi dan meletakkan barang-barang bawaannya Miranda. Kemudian kami berdua masuk kedalamnya.
”Apa maksudmu? Kamu sekolah sambil kerja? Kerja dimana?” tanya Miranda.
Kunyalakan mobil, dan melaju perlahan keluar dari bandara. ”Kau tahu, kan, dari dulu orang tuaku sudah memiliki usaha dagang. Jadi, pas SMP aku berpikir gimana rasanya punya uang hasil keringat sendiri. Kemudian, aku negosiasi dengan orang tuaku apakah mereka mengizinkan aku untuk ikut membantu usaha dagang tersebut. Aawalnya, aku tak mengharapkan imbalan apa-apa. Aku cuma mau mendapatkan ilmu dagang. Tapi, mungkin karena mereka sayang aku, setiap bulan aku dikasih uang lebih, seakan-akan itu gaji dari kerja kerasku. Lucu juga mengingat semuanya. Bertahun-tahun kukumpulkan uang tersebut, dan akhirnya seperempat bagian mobil ini adalah hasil kerja kerasku.”
Miranda tersenyum mendengar ceritaku. ”Yah, aku tahu. Mana mungkin seorang bos dengan usaha dagang yang sangat maju itu tidak memberikan putrinya gaji. Hahaha..”
”Twinkie, kau tidak meledekku, kan?”
”Tidak, Sweety-ku, sayang.” dibelainya daguku. Aku berjengit.
“Miranda!”
Kami berdua pun tertawa..

^_^

Keesokan harinya..
”Steph, jalan-jalan, yuk.” ajak Miranda.
Selama satu malam ini dia menginap di rumahku. Kami berbicara banyak hal sampai lewat tengah malam. Mulai dari waktu kami kecil, saat-saat pacaran dengan seseorang, hingga saat-saat di bangku kuliah.
Aku memicingkan mataku. Sinar matahari menembus masuk melalui gordenku. Dengan susah payah aku mengumpulkan kembali nyawa-nyawaku sampai aku tersadar.
”Jalan-jalan? Are you kidding me? Ini masih terlalu pagi, Miranda, buat jalan-jalan.” Aku merebahkan diriku kembali ke kasur. Miranda mengguncang-guncang tubuhku.
”Hello..!!!” teriak miranda. ”ini sudah jam berapa, non! Jam sebelas!”
”Aku masih ngantuk, euy!!”
”Steph!!” Miranda tak henti-hentinya menggoyangkan tubuhku hingga aku menyerah lalu bangun. Diseretnya aku ke kamar mandi. Dengan kepala sedikit pusing akhirnya tubuhku sinkron juga saat menyentuh air. Ah, segaaaaarrrr!!!
Kira-kira 50 menit kemudia, semua selesai kulakukan. Dari mandi hingga dandan. Miranda mendekatiku. ”Kita jalan-jalannya pake motor kamu aja, ya?”
Aku menoleh, ”Kenapa gak pake mobil aja? Cuacanya kan panas.”
”Ngawur.” sahut Miranda. ”Sekarang udaranya cukup sejuk buat jalan-jalan. Langitnya sedang plin-plan. Antara mau hujan atau panas.”
”Kenapa gak ntar sore aja, sih?” tanyaku. Heran, nih anak maunya jalan-jalan pas tengah hari kaya gini.
”Sudah lama aku gak makan di Depot Andre. Aku mau makan siang disana, Steph.”
Benar juga, pikirku. Aku juga sudah lama sekali tak mengunjungi depot itu. Okelah kalo begitu. Sekali-sekali pake motor kan gak papa.
Sementara Miranda mencari helm untuk kami berdua, aku mencari kunci motorku di kumpulan gantungan kunci-gantungan kunci yang ada. Dan tak lama kemudian, aku menemukannya. Begitu pula dengan pencarian helm yang dilakukan oleh Miranda.
Dengan semangat ku-starter motorku dan sesaat melaju dengan cepat keluar dari kompleks perumahan. Kami bercanda terus selama perjalanan. Tiba-tiba, Sebuah mobil yang kurasa pengemudinya itu sedang mabuk, menyerempet kami dari arah yang berlawanan. Aku terkejut, dan mencoba menghindari mobil itu. Tapi sial, aku kehilangan keseimbangan. Aku terjatuh disamping sepeda motor yang kukendarai, dan pingsan selama beberapa detik. Disaat itu juga, kudengar jeritan suara yang kukenal. Aku membuka mata. Dan kulihat, Miranda, sahabatku, yang terbaring beberapa meter dari tempatku. Mataku nanar.
Aku terkulai. Hawa panas mulai menyelimutiku. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku tidak tahu harus berkata apa. Dengan perlahan, darah itu mengalir. Serentak aku tersadar, aku berdiri dan berteriak meminta pertolongan. Orang-orang pun dengan segera mendatangi kami. Tidak berapa lama, Ambulance pun datang, mungkin ada seseorang yang dengan baik hati menghubunginya.
Aku memasuki Ambulance itu. Aku cuma berharap ada keajaiban yang terjadi pada diri Miranda. Sesampainya di rumah sakit, kami berdua langsung dibawa ke IGD. Kurang lebih sejam, diriku diselimuti perasaan gelisah. Luka pada kepala Miranda telah selesai dibalut. Aku duduk disamping ranjang Miranda. Kugenggam tangannya. Aku menunduk. Air mataku mengalir. Ada perasaan bersalah dihatiku. Andaikan saja tadi aku menolak permintaan Miranda untuk pake motor. Andaikan saja....
Ada sebuah gerakan dari tangan Miranda. Aku terbangun. Kulihat Miranda berusaha membuka matanya.
”Miranda...” panggilku.
Dengan tatapan bingung Miranda melihatku. ”Siapa kau?”
Jderr!! Seperti ditembak petir di siang hari bolong. Aku mematung. Rasanya mau copot jantungku. Miranda tak mengenaliku. Jangan-jangan dia amnesia?
”Hahahahahaha....” tawa khas dari Miranda membahana. ”Coba lihat tampangmu tadi.”
Kalau aku tidak mendengar jerit tawa dari Miranda, mungkin saat ini aku sedang termehek-mehek dihadapannya sambil menjelaskan identitas diriku. Uh, konyol sekali.
”Miranda! Tega-teganya kau membohongiku!” teriakku. Aku merasakan wajahku bersemu merah. ”Kupikir kau benar-benar kena amnesia.”
”Apa kau mendoakanku? Kalau iya, sepertinya doamu terkabul. Miracles happen!”
Aku melamun. Kemudian aku menubruk Miranda. ”Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika saat ini keadaanmu bertambah parah. Kau sempat tak sadarkan diri tadi. Oh, Miranda, maafkan aku.”
Miranda mengelus-elus rambutku. ”Seharusnya akulah yang minta maaf sama kamu. Kan aku tadi yang merengek supaya kita pake motor aja.”
Aku melepaskan pelukanku. Kami berdua sama-sama tersenyum.
”Jadi ke depot Andre?” tanya Miranda.
Kucubit lengannnya. ”Kamu ini, masih sempet-sempetnya mikirin mau makan disana. Hahahaha...”
Miranda tersenyum manja.
Oh, indah sekali persahabatan seperti ini.

-diaty..