Arti Hadirmu  

Diposting oleh Diaty....

Aku terkulai. Hawa panas mulai menyelimutiku. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku tidak tahu harus berkata apa. Dengan perlahan, darah itu mengalir. Serentak aku tersadar, aku berdiri dan berteriak meminta pertolongan. Orang-orang pun dengan segera mendatangi kami. Tidak berapa lama, Ambulance pun datang, mungkin ada seseorang yang dengan baik hati menghubunginya.
Aku memasuki Ambulance itu. Duduk dengan setia menemani sahabatku yang saat ini terbaring lemah tak sadarkan diri. Untunglah darah yang terus mengalir dari bagian kepalanya itu segera ditangani oleh para petugas kesehatan yang datang. Aku menangis perlahan. Semua kejadian itu terulang kembali dalam memoriku. Sebuah mobil yang kurasa pengemudinya itu sedang mabuk, tiba-tiba menyerempet kami dari arah yang berlawanan. Aku terkejut, dan mencoba menghindari mobil itu. Tapi sial, aku kehilangan keseimbangan. Aku terjatuh disamping sepeda motor yang kukendarai, dan pingsan selama beberapa detik. Disaat itu juga, kudengar jeritan suara yang kukenal. Aku membuka mata. Dan kulihat, Miranda, sahabatku, yang terbaring beberapa meter dari tempatku. Mataku nanar. Aku cuma berharap ada keajaiban yang terjadi pada diri Miranda.

^_^
Dua minggu sebelumnya…
“Kau bercanda??” tanyaku.
Miranda menggeleng. “Tidak, Steph. Aku serius. Mungkin lusa nanti aku sudah tiba di Banjarmasin.”
Aku melonjak kegirangan. “Apa kau berniat untuk menetap?”
“Ehm… Mungkin ya, mungkin juga tidak. Tergantung orang tuaku.” Kemudian Miranda tertawa. “Aku sudah tidak sabar mau melihat tampangmu itu, sweety.”
“Oh, please stop it, Miranda. Kau tau aku sudah tidak suka lagi dipanggil seperti itu. terkesan… ngg.. norak.”
Miranda tergelak dari seberang sana.
“Hey, kau menertawaiku, ya?” tanyaku.
‘Tidak, sweety.” Jawab Miranda. Tapi, masih ada suara tertawa terbahak-bahak dari sana.
Aku cemberut. “Kau bohong.”
Tiba-tiba Miranda menghentikan tawanya. “Oh, geez. Just kidding, my friend.”
Aku tersenyum, “Tidak apa-apa, twinkie, hahahahaha…..!!!!”
“Oh, kau membalasku, eh?” sahut Miranda. Aku tertawa lagi. Dia memang punya kenangan buruk mengenai nama ‘Twinkie’ itu sendiri. Jadi, aku tau kelemahan Miranda ada disana.
“Kita memiliki skor satu sama. Oh, indahnya pembalasan, hahahaha…”
Miranda ikut tertawa. “Awas saja nanti, Steph. Saat aku sudah tiba disana, akan kuberi kau hadiah yang takkan kau lupakan sepanjang hidupmu.”
“Uh, I’m scared.” sahutku. Kemudian tertawa lagi.
“Sialan.”
“Ah, udah dulu, ya. Aku mau ke kampus dulu. Dah twinkie…!!!”
“Dah juga sweety…!!!”
Kemudian kami berdua sama-sama tertawa.

^_^

Hari ini, Miranda datang. Kira-kira pesawat dari Jakarta itu akan tiba 30 menit lagi. Kupercepat laju mobilku. Aku sudah tak sabar untuk menemuinya. Terakhir kali kami bertemu, sekitar tujuh tahun yang lalu. Saat itu, kami masih kelas 5 SD. Tapi, tak berapa lama, ayahku kemudian ditugaskan untuk bekerja di Banjarmasin. Sedih sekali harus berpisah dengan Miranda. Sebenarnya, kalau di dunia maya, kami memang sering ketemu akhir-akhir ini. Tapi, itu tiada berarti jika tidak bertemu secara langsung. Dan hari ini, rasanya seperti mimpi aku benar-benar akan bertemu dengan seorang Miranda.
Di sepanjang perjalanan, dentuman musik OST Boys Before Flowers mengalun keras di dalam mobilku. Aku menyanyi dengan fasih.
....
Saranghae ireon nae mam jeonhal su itdamyeon
Saranghae geudae geu mam gareuchyeo jundamyeon
Na modu darmagalkkeyo..
Love you.. Love you.. Love you..
yeongwonhi..
….
Aku terkikik sendiri. Hihihi. Serasa jadi orang Korea beneran saking fasihnya pengucapanku dalam bahasa itu. Huhu.. Happy syalala....
Oke, Steph.. Back to the world.
Tak lama kemudian, aku sampai di bandara Syamsudin Noor. Kuparkir mobilku, kemudian berjalan melewati kerumunan orang-orang yang entah mereka menunggu waktu pesawat datang, atau menjemput saudara-saudari mereka yang mau datang. Aku menunggu di depan loket penjualan tiket sambil H2C, harap-harap cemas, hehe..
Tiba-tiba, terlintas kenanganku saat aku masih duduk di bangku sekolah. Dulu, aku bersama seorang cowok (dan aku menyimpan perasaan terhadapnya) pernah berada disini karena suatu hal. Kalau bukan karena hujan, mungkin kenangan seperti itu takkan pernah ada. Oh, thanks God. Aku bisa berduaan dengannya selama kurang lebih dua jam. Tapi bedanya, dulu kami berdua duduk di depan loket penjualan tiket yang paling ujung sebelah kiri. Sedangkan aku sekarang duduk di ujung kanan bangku itu. Aku tersenyum simpul. Hihihi. Hmm.. Apa kabarnya dia sekarang, ya? pikirku.
Stop! Aku memejamkan mata, menepiskan kenangan itu, dan kembali pada kenyataan sekarang ini. Kulirik jam tanganku. Pukul 12:24. Okay, sebentar lagi.
”Steph!!”
Ada suara melengking yang tiba-tiba mengagetkanku. Siapakah itu? My Secret Admirer? Hihihi. Aku menoleh pada sumber suara. Pelukan keras menghantam tubuhku.
“Miranda!” teriakku. ”Aduh!”
Dengan terengah-engah aku mencoba melepaskan pelukan dahsyat dari Miranda. Buset, tulangku berderak *lebay, hihihi. Nggak, ding. Cuma terasa agak nyeri aja tiba-tiba dapat ’kado’ seperti itu.
”Apa kabarmu, Steph? Lama tak bersua.” tanya Miranda. Dia membetulkan syal yang membelit di lehernya.
”Baik.” jawabku. ”Apa kau datang sendirian?”
”Tidak. Aku bersama penumpang pesawat lain juga. Hahaha...” sahut Miranda asal.
Aku menjitak kepalanya. ”Bukan itu maksudku, Twinkie. Kali aja kamu datang bawa rombongan.”
Miranda menghirup udara. Seakan-akan baru pertama kali menginjakkan kaki di sebuah pulau yang penuh dengan kedamaian. Kujitak kepalanya sekali lagi. ”Sekali lagi kau menghirup udara dengan tampang lebay seperti itu, akan kubuang anginku tepat dihadapanmu. Hahaha...!!”
Miranda langsung menutup hidung, ”Eugh, Steph jorok!!”
Aku tertawa. ”Biarin, hahahaha...!!”
Aku berjalan ke parkiran. Kubuka kunci mobilku.
Miranda tercengang. ”Whoa, Steph, kau dibelikan mobil?”
Aku tersenyum. ”Hmm.. tidak bisa dibilang begitu. Soalnya seperempat uang mobil ini adalah hasil kerja kerasku juga selama bertahun-tahun.”
Aku membuka bagasi dan meletakkan barang-barang bawaannya Miranda. Kemudian kami berdua masuk kedalamnya.
”Apa maksudmu? Kamu sekolah sambil kerja? Kerja dimana?” tanya Miranda.
Kunyalakan mobil, dan melaju perlahan keluar dari bandara. ”Kau tahu, kan, dari dulu orang tuaku sudah memiliki usaha dagang. Jadi, pas SMP aku berpikir gimana rasanya punya uang hasil keringat sendiri. Kemudian, aku negosiasi dengan orang tuaku apakah mereka mengizinkan aku untuk ikut membantu usaha dagang tersebut. Aawalnya, aku tak mengharapkan imbalan apa-apa. Aku cuma mau mendapatkan ilmu dagang. Tapi, mungkin karena mereka sayang aku, setiap bulan aku dikasih uang lebih, seakan-akan itu gaji dari kerja kerasku. Lucu juga mengingat semuanya. Bertahun-tahun kukumpulkan uang tersebut, dan akhirnya seperempat bagian mobil ini adalah hasil kerja kerasku.”
Miranda tersenyum mendengar ceritaku. ”Yah, aku tahu. Mana mungkin seorang bos dengan usaha dagang yang sangat maju itu tidak memberikan putrinya gaji. Hahaha..”
”Twinkie, kau tidak meledekku, kan?”
”Tidak, Sweety-ku, sayang.” dibelainya daguku. Aku berjengit.
“Miranda!”
Kami berdua pun tertawa..

^_^

Keesokan harinya..
”Steph, jalan-jalan, yuk.” ajak Miranda.
Selama satu malam ini dia menginap di rumahku. Kami berbicara banyak hal sampai lewat tengah malam. Mulai dari waktu kami kecil, saat-saat pacaran dengan seseorang, hingga saat-saat di bangku kuliah.
Aku memicingkan mataku. Sinar matahari menembus masuk melalui gordenku. Dengan susah payah aku mengumpulkan kembali nyawa-nyawaku sampai aku tersadar.
”Jalan-jalan? Are you kidding me? Ini masih terlalu pagi, Miranda, buat jalan-jalan.” Aku merebahkan diriku kembali ke kasur. Miranda mengguncang-guncang tubuhku.
”Hello..!!!” teriak miranda. ”ini sudah jam berapa, non! Jam sebelas!”
”Aku masih ngantuk, euy!!”
”Steph!!” Miranda tak henti-hentinya menggoyangkan tubuhku hingga aku menyerah lalu bangun. Diseretnya aku ke kamar mandi. Dengan kepala sedikit pusing akhirnya tubuhku sinkron juga saat menyentuh air. Ah, segaaaaarrrr!!!
Kira-kira 50 menit kemudia, semua selesai kulakukan. Dari mandi hingga dandan. Miranda mendekatiku. ”Kita jalan-jalannya pake motor kamu aja, ya?”
Aku menoleh, ”Kenapa gak pake mobil aja? Cuacanya kan panas.”
”Ngawur.” sahut Miranda. ”Sekarang udaranya cukup sejuk buat jalan-jalan. Langitnya sedang plin-plan. Antara mau hujan atau panas.”
”Kenapa gak ntar sore aja, sih?” tanyaku. Heran, nih anak maunya jalan-jalan pas tengah hari kaya gini.
”Sudah lama aku gak makan di Depot Andre. Aku mau makan siang disana, Steph.”
Benar juga, pikirku. Aku juga sudah lama sekali tak mengunjungi depot itu. Okelah kalo begitu. Sekali-sekali pake motor kan gak papa.
Sementara Miranda mencari helm untuk kami berdua, aku mencari kunci motorku di kumpulan gantungan kunci-gantungan kunci yang ada. Dan tak lama kemudian, aku menemukannya. Begitu pula dengan pencarian helm yang dilakukan oleh Miranda.
Dengan semangat ku-starter motorku dan sesaat melaju dengan cepat keluar dari kompleks perumahan. Kami bercanda terus selama perjalanan. Tiba-tiba, Sebuah mobil yang kurasa pengemudinya itu sedang mabuk, menyerempet kami dari arah yang berlawanan. Aku terkejut, dan mencoba menghindari mobil itu. Tapi sial, aku kehilangan keseimbangan. Aku terjatuh disamping sepeda motor yang kukendarai, dan pingsan selama beberapa detik. Disaat itu juga, kudengar jeritan suara yang kukenal. Aku membuka mata. Dan kulihat, Miranda, sahabatku, yang terbaring beberapa meter dari tempatku. Mataku nanar.
Aku terkulai. Hawa panas mulai menyelimutiku. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku tidak tahu harus berkata apa. Dengan perlahan, darah itu mengalir. Serentak aku tersadar, aku berdiri dan berteriak meminta pertolongan. Orang-orang pun dengan segera mendatangi kami. Tidak berapa lama, Ambulance pun datang, mungkin ada seseorang yang dengan baik hati menghubunginya.
Aku memasuki Ambulance itu. Aku cuma berharap ada keajaiban yang terjadi pada diri Miranda. Sesampainya di rumah sakit, kami berdua langsung dibawa ke IGD. Kurang lebih sejam, diriku diselimuti perasaan gelisah. Luka pada kepala Miranda telah selesai dibalut. Aku duduk disamping ranjang Miranda. Kugenggam tangannya. Aku menunduk. Air mataku mengalir. Ada perasaan bersalah dihatiku. Andaikan saja tadi aku menolak permintaan Miranda untuk pake motor. Andaikan saja....
Ada sebuah gerakan dari tangan Miranda. Aku terbangun. Kulihat Miranda berusaha membuka matanya.
”Miranda...” panggilku.
Dengan tatapan bingung Miranda melihatku. ”Siapa kau?”
Jderr!! Seperti ditembak petir di siang hari bolong. Aku mematung. Rasanya mau copot jantungku. Miranda tak mengenaliku. Jangan-jangan dia amnesia?
”Hahahahahaha....” tawa khas dari Miranda membahana. ”Coba lihat tampangmu tadi.”
Kalau aku tidak mendengar jerit tawa dari Miranda, mungkin saat ini aku sedang termehek-mehek dihadapannya sambil menjelaskan identitas diriku. Uh, konyol sekali.
”Miranda! Tega-teganya kau membohongiku!” teriakku. Aku merasakan wajahku bersemu merah. ”Kupikir kau benar-benar kena amnesia.”
”Apa kau mendoakanku? Kalau iya, sepertinya doamu terkabul. Miracles happen!”
Aku melamun. Kemudian aku menubruk Miranda. ”Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika saat ini keadaanmu bertambah parah. Kau sempat tak sadarkan diri tadi. Oh, Miranda, maafkan aku.”
Miranda mengelus-elus rambutku. ”Seharusnya akulah yang minta maaf sama kamu. Kan aku tadi yang merengek supaya kita pake motor aja.”
Aku melepaskan pelukanku. Kami berdua sama-sama tersenyum.
”Jadi ke depot Andre?” tanya Miranda.
Kucubit lengannnya. ”Kamu ini, masih sempet-sempetnya mikirin mau makan disana. Hahahaha...”
Miranda tersenyum manja.
Oh, indah sekali persahabatan seperti ini.

-diaty..

This entry was posted on 11/12/2010 02:52:00 PM . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar